Minggu, 29 Juli 2012

Alanis Morissette - Not As We

this song helped me when i was at my lowest and didnt even realize it...
Lost in the dark ALONE...when no one understood or when i was too scared to reach out
trapped within the negative things said to me over the years...
alanis gave me a foothold back into the brighter side of life...
and when i was about to give up
then came the flood of help..
so im not mad. im just sad that some people in this world live to bring others down..
i finally understand the title of this song.

Rabu, 28 Maret 2012

KITA TIDAK DAPAT MENGUKUR PRESTASI ORANG LAIN MENURUT UKURAN KITA

Sebuah artikel, saya copy-paste dari laman grup sebelah. Semoga berkenan, dan menimbulkan encouragement, tidak saja rekan-rekan yang bekerja sebagai guru, dosen atau pengajar, namun juga bagi para orangtua yang memiliki anak-anak. Seperti saya.

Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.

***
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.
“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ”
Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. KITA TIDAK DAPAT MENGUKUR PRESTASI ORANG LAIN MENURUT UKURAN KITA.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan studi saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan ENCOURAGEMENT, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

***
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
SEKOLAH yang membuat kita TIDAK NYAMAN mungkin telah membuat kita MENJADI LEBIH DISIPLIN. Namun di lain pihak dia juga bisa MEMATIKAN INISIATIF dan MENGENDURKAN SEMANGAT. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Senin, 11 Juli 2011

Beyond the Blackboard (Inspiring Movies)

Emily VanCamp Stars, with Timothy Busfield and Treat Williams;
Film Based on True Story of Young Teacher Who Changes Children's Lives

Stacey Bess's first teaching job is not at all what she expected. She's assigned to the School with no Name in Salt Lake City, a space in a homeless shelter that is supposed to function as a classroom. The 'classroom,' though, lacks basic supplies such as desks and books, and her young students range in age from six to 12.

Based on a true story, Beyond the Blackboard chronicles young Stacey confronting her own fears and insecurities as she struggles to gain attention and respect from her students. She must also win over school board administrators and apprehensive parents.

Beyond the Blackboard, the 243rd presentation of the Hallmark Hall of Fame, premiers Sunday, April 24, 2011, 9-11pm ET/PT on CBS. This presentation continues the 60th anniversary year of television's longest-running and most-honored series of drama specials.
Emily VanCamp (Everwood, Brothers & Sisters) stars as Stacey Bess; Steve Talley (The Peaceful Warrior) plays her husband, Greg; Emmy Award winner Timothy Busfield (thirtysomething, Studio 60 on the Sunset Strip) and Treat Williams (127 Hours, Front of the Class) play the school administrators.

Beyond the Blackboard is based on Stacey Bess's memoir, Nobody Don't Love Nobody. Jeff Bleckner (Loving Leah, The Russell Girl) directs from a script by Camille Thomasson (When Love Is Not Enough: The Lois Wilson Story, The Magic of Ordinary Days).
Interviewed on the film's set, Emily VanCamp says when she first read the script she felt compelled to play the part of Stacey Bess.

"It's so rare that you read a script and connect with it on such a deep level," she says. "I have such a tremendous amount of admiration for Stacey and for the things she's done that to be able to portray her is really and honor.

"I love the combination she has of vulnerability and empathy, matched with tremendous strength."
Stacey Bess spent many days on the Albuquerque, New Mexico set of Beyond the Blackboard, and memories came flooding back.

"The chances of my surviving at the beginning were just about nil," she remembers. "I mean, I'd never been exposed to poverty."

Stacey Bess persevered, and for 11 years brought help and hope to her flock of school children.
"I had to convince them that I was an adult who could be trusted, an adult who was here today for them, and would be here tomorrow for them, and the day after tomorrow.

"When you looked into their eyes you saw exhaustion," said Stacey. "I had to teach them to be children. They had to learn that it wasn't their job to worry about money. Their job was to go to school, and to help their brothers and sisters."

Treat Williams, also interviewed on the film's set, says Beyond the Blackboard '"reminds us that sometimes it doesn't take an awful lot to make a huge difference in other people's lives. In this case, some desks, some books, some focus -- and a lot of love -- and these kids' lives were improved immeasurably."

Stacey Bess says the take-away message of her story and Beyond the Blackboard is: "Don't be afraid to step outside your comfort zone. Don't be afraid to offer help to someone you don't know, or don't know well. "Even the smallest gesture can make the biggest difference in another person's life."

Andrew Gottlieb (The Lost Valentine, The Blackwater Lightship) is the producer of Beyond the Blackboard.
Academy Award winner Gerald R. Molen (Schindler's List) and Brent Shields (The Lost Valentine, November Christmas) are executive producers. It is from Hallmark Hall of Fame Productions, Inc.

Beyond the Blackboard Trailer

Senin, 20 Juni 2011

Pribadi Yang Baik Rezekinya

REZEKI ITU BUKAN HANYA UANG.

Rezeki adalah semua rahmat Tuhan;
seperti kesehatan, kedamaian, ilmu,
keluarga yang sejahtera dan bahagia, nama baik, dan
pengaruh yang besar untuk memajukan kebaikan
dan mencegah terjadinya keburukan.

Dan yang tertinggi nilainya
dari semua rezeki adalah
IMAN kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Maka

Marilah kita semua
menjadi pribadi yang baik rezekinya.

Mario Teguh

Jumat, 17 Juni 2011

Ajarkan empati kepada anak mulai dari hal kecil Y(^o^)

Daniel Goleman, pakar psikologi abad ini mengungkap bahwa kecerdasan bersosialisasi (social intelligent) merupakan modal penting dalam bermasyarakat. Kenyataannya tidak banyak anak-anak mudah bersosialisasi, cepat berinteraksi ketika bertemu orang baru. Cerdas sosial dibangun dari kemampuan empati yang baik. Singkatnya, empati berarti bisa merasakan perasaan orang hingga tahap bertindak untuk memberi solusi/ respon positif pada orang tersebut.
Yuk, asah empati anak kita sejak saat ini. Mulai dari hal kecil seperti berbuat baik pada alam, merawat tanaman, melestarikan sustainability binatang, dan menjaga kebersihan lingkungan, hingga berbuat baik pada sesama. Berikan pemahaman tentang pentingnya perbuatan baik hingga mereka suatu saat makin memahami bahwa kesuksesan yang ia raih sangat banyak dipengaruhi kemampuan sosialisasinya yang  baik.

I’m Unique & That’s Me,
Charabee words

diunduh dari: http://www.charapilotshirt.com/category/panduan-praktis-parenting/

Selasa, 14 Juni 2011

Keberanian Hidup Sedang Di Uji

Apa yang kita harapkan terkadang berbeda dengan kenyataannya..
itulah yang sekarang sedang saya alami.. Seringkali saya dihadapkan pada
sebuah keputusan.. dan saya memilih.. seiring berjalannya waktu
kadang ada perasaan bahwa pilihan saya salah.. seandainya saya memilih
pilihan yang satu-nya mungkin tidak akan terjadi seperti sekarang..

Padahal mungkin pilihan saya sebenarnya sudah tepat, hanya karena sedang
mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan dari pilihan saya tersebut, maka
pemikiran mengenai "salah pilih" tadi melintas.. mengganggu sekali, karena
akhirnya tak jarang saya kehilangan fokus yang berakibat semakin berantakan
saja apa yang sedang saya kerjakan, baik itu pekerjaan di kantor hingga
melayani keluarga di rumah.

Ketika sudah dirasa sedemikian buruk, maka menurut saya inilah saatnya
KEBERANIAN HIDUP di uji.. apakah saya berani mempertanggungjawabkan
pilihan saya di awal?!

Sejatinya tak ada Kehidupan yang benar-benar aman, tidak ada masalah, hidup
yang mulus se-mulus jalan tol..

Sekali lagi mengingat Quotes dari Mario Teguh:

"Orang yang menghindari kesalahan, tidak akan tumbuh.

Kesalahan dan ketepatan adalah dua sisi dari sebuah koin yang sama.

Jika Anda menghindari kesalahan, sesungguhnya Anda juga menghindari ketepatan.

Itu sebabnya, orang yang berani menerima kemungkinan gagal, menjadi lebih sering berhasil.

Dan dia yang menghindari kesalahan, juga menjauhi keberhasilan.

Mulai hari ini, hiduplah dengan lebih berani."